Kamis, 22 Maret 2012

Imparsial Tolak TNI Amankan Demo Kenaikan BBM

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana pemerintah melibatkan TNI dalam pengamanan unjuk rasa menolak kenaikan harga BBM ditolak Imparsial. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang HAM itu menilai upaya pelibatan TNI tersebut di berbagai daerah terlalu prematur. Langkah tersebut justru berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM.
Seperti diketahui, beberapa minggu terakhir ini terjadi peningkatan aksi menolak kenaikan harga BBM. Kebijakan tersebut memiliki efek domino terhadap kenaikan harga barang-barang dan jasa, terutama bahan pokok.
Dalam menyikapi perkembangan tersebut, Menkopolhukam Djoko Suyanto menyatakan bahwa aparat TNI akan diturunkan untuk membantu kepolisian mengantisipasi eskalasi gerakan protes masyarakat sipil di berbagai daerah terhadap kebijakan kenaikan harga BBM.
"Sikap Menkopolhukam ini tidak lebih sebagai bentuk ancaman secara halus terhadap masyarakat sipil yang kritis dan menyuarakan aspirasinya. Lebih jauh, sikap tersebut tak ubahnya seperti sikap dan langkah pemerintahan otoriter orede baru dalam mengamankan kebijakannya yang berlawanan dengan kehendak masyarakat," kata Direktur Eksekutive Imparsial Poengky Indarti dalam keterangannya, Rabu (21/3/2012).
Poenky mengingatkan penolakan masyarakat terhadap kebijakan kenaikan harga BBM adalah hak setiap warga negara. Hak ini bagian dari kebebasan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi dan UU.
Oleh karena itu, adalah kewajiban negara untuk menghormati dan menjamin pelaksanaan kebebasan tersebut oleh setiap warga negara.
"Setiap upaya pembatasan dan ancaman terhadap masyarakat dalam upaya menyuarakan penolakannya terhadap kebijakan menaikan harga BBM adalah pelanggaran hak asasi manusia dan berlawanan dengan demokrasi," katanya.
Imparsial memandang, meski berdasarkan UU No 34 tahun 2004 memungkinkan adanya pelibatan TNI dalam kerangka tugas perbantuan untuk membantu kepolisian dalam urusan keamanan dalam negeri. Namun hal itu hanya bisa dilakukan melalui keputusan otoritas politik sipil.
Namun, kata Poenky, masalahnya hingga saat ini belum ada UU yang mengatur tentang mekanisme tugas perbantuan, teknis operasional serta akuntabilitasnya. Dalam ketidakjelas aturan ini, maka penggunaan TNI saat ini untuk menangani aksi anti BBM potensial sebagai alat represi untuk mengamankan kekuasaan daripada secara sungguh-sungguh membantu tugas kepolisian.
Poenky mendesak penanganan aksi unjuk rasa menolak kebijakan kenaikan harga BBM harus tetap berada dalam kerangka penegakan hukum dan keamanan dengan menempatkan polisi sebagai aktor terdepan. Namun demikian, Imparsial juga menekankan kepada aparat kepolisian untuk menangani setiap unjuk rasa secara proporsional dan mengedepankan cara-cara persuasif.
"Di titik ini, polisi harus menghindari penggunaan cara-cara represeif yang berpotensi menimbulkan terjadi kekerasan dan pelanggaran HAM," tukasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar